1. Infrastruktur
Pembangunan
infrastruktur merupakan salah satu aspek penting dan vital untuk mempercepat proses pembangunan nasional.
Infrastruktur juga memegang peranan penting sebagai salah satu roda penggerak
pertumbuhan ekonomi. Ini mengingat gerak laju dan pertumbuhan ekonomi suatu
negara tidak dapat dipisahkan dari ketersediaan infrastruktur seperti
transportasi, telekomunikasi, sanitasi, dan energi. Oleh karena itu,
pembangunan sektor ini menjadi fondasi dari pembangunan ekonomi selanjutnya.
Tapi faktanya bertahun-tahun saat ini perkembangan infrastruktur yang
diharapkan selalu berkembang lebih baik di Indonesia malah sangat mencemaskan,
sebagai contoh pergerakan barang hampir pada posisi terkunci karena kondisi
infrastruktur sangat parah dan sistem logistik yang sangat rapuh. Dengan
melihat informasi di berita dan berfikir sejenak ternyata pertumbuhan ekonomi
Indonesia 2 tahun terakhir naik sekitar 6 persen, bahkan menurut berita
Indonesia sebagai salah satu Negara terbaik yang mampu melewati masa-masa
krisis dunia. Akan tetapi tidak dibarengi dengan kenaikan kapasitas
infrastruktur, yang ada perkembangan infrastruktur menjadi minus karena
kerusakan infrastruktur yang sudah ada diperparah oleh alam yang tidak
bersahabat.
Akibatnya bisa
kita alami, jika dibandingkan negara-negara lain ataupun negara tetangga
seperti malaysia pembangunan infrastruktur di Indonesia saat ini tertinggal.
Sebagai contoh di Jakarta sebagai Ibu Kota dan juga pusat perekonomian di
Indonesia, Jakarta dari dahulu memiliki banyak sekali permasalahan dengan
pembangunan infrastruktur. Sebagai contoh yang bisa kita alami seperti :
kondisi jalan, sistem irigasi, transportasi, maupun dalam merawat fasilitas
infrastruktur yang lainnya. Sepertinya pemerintah di Indonesia hanya setengah
hati dalam membangun infrastruktur di Ibu Kota ini, dari pemerintah daerah
maupun pusat tidak ada sistem kerja sama dan komunikasi yang efektif, efisien,
serta komitmen. Karena beberapa proyek yang direncanakan pemerintah daerah saat
ini seperti tersendat, lihat saja kondisi jalan dan sistem irigasi air di
Jakarta sangat mengecewakan jika diukur dari jumlah besarnya pajak yang di
dapat pemerintah dari rakyatnya. Apalagi kondisi jalan diperparah saat musim
hujan, rakyat hanya bisa menikmati jalan berlubang yang ditutupi air dimana-mana,
ataupun kondisi jalan yang tak rata akibat yang ditimbulkan dari banjir yang
menggenai jalan setiap hujan. Belum lagi banjir yang selalu setia menemani
pengguna jalanan akan menimbulkan banyak kerugian. Tidak adanya perencanaan
sistem yang baik serta kerja sama dari seluruh pihak baik pemerintah maupun
masyarakat dalam mengatasi banjir, nampaknya sulit jika Jakarta bebas dari
banjir. Ini belum lagi mengenai kondisi Transportasi, tidak adanya sistem yang
berkelanjutan atas apa yang direncanakan dari pemerintah sebelumnya maupun
pemerintah yang akan datang menyebabkan kondisi Transportasi di Jakarta ambur
adul. Proyek-proyek seperti monorel, dan water way berhenti ditengah jalan,
bisa dibayangkan berapa biaya anggaran yang terbuang akibat proyek yang tak
jelas ini. Jika kita padukan ataupun gabungkan dari beberapa masalah
infrastruktur seperti banjir, kondisi jalan, dan transportasi pemerintah telah
menghasilkan buah pekerjaan rumah yang
besar yaitu KEMACETAN yang parah dimana-mana. Tentunya ini menimbulkan
banyak sekali kerugian mulai dari waktu, biaya, bahan bakar, dan polusi.
Sebagai contoh efek yang ditimbulkan tersebut seperti ketidakpastian lama
pengiriman barang makin bertambah karena infrastruktur yang rapuh akan menambah
biaya inventory. Akhirnya biaya perusahaan terserap oleh logistik dan
perusahaan tidak dapat menaikkan upah karyawan agar bisa bertahan dengan tidak
menaikkan harga jual ke masyarakat. Kondisi logistik Indonesia sudah kritis dan
pemerintahan sudah kehilangan waktu yang sangat banyak. Biaya logistik yang
tinggi menutup keunggulan investasi di Indonesia dengan upah yang rendah dan
energi yang disubsidi.
Menurut Global
Competitiveness Report 2010-2011 (WEF, 2010), Indonesia menempati peringkat ke
82 dari 139 negara dalam pilar infrastruktur, salah satu dari 12 pilar daya
saing yang diukur. Dibandingkan dengan negara-negara sekelas, Indonesia masih
tertinggal jauh, antara lain: Malaysia (30), Thailand (35), Turki (56), Brazil
(62) dan Meksiko (75). Indonesia nyaris disusul oleh Vietnam, yang berada satu
tingkat dibawah peringkat Indonesia (83). Negara-negara maju menunjukkan
peringkat infrastruktur yang lebih baik. Lima peringkat teratas adalah: Hong
Kong, Jerman, United Arab Emirates, Prancis, dan Singapura.
Peringkat
Indonesia dalam rincian kualitas infrastruktur juga berada pada posisi relatif
rendah. Peringkat lebih buruk ada pada kualitas infrastruktur kereta api, kualitas pasokan listrik dan pelanggan telpon
gerak, masing-masing peringkat ke 96, 97 dan 98. Indonesia menunjukkan
peringkat yang relatif baik pada kualitas infrastruktur transportasi udara,
yang menempati peringkat ke 21.
Penilaian di
atas sesuai dengan kenyataan yang dirasakan banyak orang. Angkutan darat
terkendala oleh kondisi jalan yang buruk. Peran kereta api masih sangat
terbatas, terutama untuk angkutan barang. Jaringan kereta api juga belum
menyebar ke pulau-pulau besar, baru tersedia di Jawa dan sebagian Sumatera.
Sungai-sungai besar di Sumatera dan Kalimantan belum dimanfaatkan secara
maskimal untuk angkutan barang dan penumpang. Pelabuhan laut dan bandar udara
mengalami kesesakan dengan cepat setelah belum lama diperbesar. Kebutuhan
listrik masih belum terpenuhi di berbagai daerah. Perkembangan layanan telpon
cukup signifikan, namun dibandingkan dengan jumlah penduduk keseluruhan, masih
lebih rendah dibandingkan negara-negara lain.
Tantangan
membangun infrastruktur di Indonesia sangat besar mengingat celah yang lebar
antara kondisi yang ada dan kebutuhan yang harus dipenuhi. Luas wilayah negara
yang besar membutuhkan infrastruktur yang berskala raksasa, melebihi kebutuhan
yang sama pada kebanyakan negara. Berbagai upaya serius perlu dilakukan untuk
benar-benar mewujudkan hadirnya infrastruktur yang merata dan berkualitas baik.
Pembangunan
infrastruktur akan dipercepat melalui skema Masterplan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025. Dalam rencana ini, akan
dibangun infrastruktur yang diperlukan untuk mengembangkan potensi ekonomi di
kawasan-kawasan sepanjang enam koridor terpilih yang tersebar di seluruh
wilayah negara. Ke enam koridor ini kemudian akan terhubung dengan koridor
ASEAN, untuk mempercepat arus barang antar negara.
Skema kerjasama
pemerintah dan swasta dalam penyediaan infrastruktur juga akan terus didorong.
Perangkat peraturan, kelembagaan dan SDM terus disiapkan untuk menggalang dan
melayani permintaan kerjasama dengan pihak swasta. PT Sarana Multi
Infrastruktur dan Indonesia Infrastructure Financing Facilities (IIIF),
keduanya berada di bawah Kementerian Keuangan, siap melayani investor yang
memerlukan jasanya. Untuk penjaminan infastruktur, pemerintah telah membentuk PT
Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII) yang menyediakan guarantee fund untuk
investasi khusus di sektor infrastruktur.
Promosi kepada
investor asing pun sudah berkali-kali
dilakukan oleh BKPM. Setiap tahun BKPM dan KADIN menyelenggarakan International
Infrastructure Conference and Exhibition di Jakarta. Bappenas menawarkan
proyek-proyek kerjasama yang dirangkum dalam PPP Book dalam berbagai tingkat
kesiapan proyek. Namun pemerintah masih perlu terus bekerja keras melakukan
promosi dan membuat peraturan yang lebih menarik dan terprediksi, termasuk
mengenai pengaturan jika terjadi suatu risiko dan memastikan adanya
perlindungan terhadap hasil investasi.
Kunci
keberhasilan penyediaan infrastruktur yang lain adalah pembagian kewenangan dan
tanggungjawab yang jelas antara pemerintah pusat dan daerah. Seluruh jalan raya
yang ada di wilayah negara sudah ditetapkan kewenangan dan kewajiban
pembangunan dan pemeliharaannya, apakah pemerintah pusat, provinsi atau
kabupaten/kota. Yang belum jelas adalah bagaimana kerjasama yang baik dilakukan
antar tingkatan pemerintahan, sehingga setiap prasarana dan sarana, siapapun
penanggungjawabnya, selalu berada dalam kondisi baik dan saling mendukung.
Kendala
pembangunan infrastruktur lain yang perlu diatasi adalah memastikan adanya
sumber pembiayaan. Untuk membangun infrastruktur, pemerintah memerlukan
anggaran yang besar. Dengan target pertumbuhan ekonomi sebesar 6,5%/tahun
kebutuhan dana infrastruktur diperkirakan minimal Rp 400 triliun per tahun.
Jika dikehendaki pertumbuhan yang lebih besar lagi, misalnya 8%/tahun, maka
tentu diperlukan anggaran yang lebih besar lagi. Namun sumber-sumber pembiayaan
itu sebetulnya cukup tersedia. Beberapa BUMN telah berkomitmen menyediakan
anggarannya untuk diinvestasikan di berbagai proyek infrastruktur. Kalangan
investor nasional juga berkomitmen menginvestasikan dana untuk mendukung
rencana pembangunan infrastruktur. Perusahaan swasta dapat menerbitkan obligasi
untuk membangun infrastruktur yang menguntungkan. Dana penjaminan untuk mendukung
penerbitan obligasi oleh kalangan pelaku usaha swasta juga tersedia, melengkapi
dana jaminan yang dikelola PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia.
Kendala utama
pembangunan infrastruktur adalah ketidaklancaran atau kelambanan dalam proses
pengadaan lahan. Saat ini peraturan pelaksanaan proses pengadaan lahan hampir
selesai dirumuskan. Dengan adanya peraturan pertanahan ini diharapkan
pembangunan infrastruktur dapat lebih cepat dilakukan, dan Indonesia dapat
mengejar ketertinggalannya dari negara-negara lain.
2. Pertanian
Sektor pertanian
merupakan sektor yang mempunyai peranan strategis dalam struktur pembangunan
perekonomian nasional. Sektor ini merupakan sektor yang tidak mendapatkan
perhatian secara serius dari pemerintah dalam pembangunan bangsa. Mulai dari
proteksi, kredit hingga kebijakan lain tidak satu pun yang menguntungkan bagi
sektor ini. Program-program pembangunan pertanian yang tidak terarah tujuannya
bahkan semakin menjerumuskan sektor ini pada kehancuran. Meski demikian sektor
ini merupakan sektor yang sangat banyak menampung luapan tenaga kerja dan
sebagian besar penduduk kita tergantung padanya.
Perjalanan
pembangunan pertanian Indonesia hingga saat ini masih belum dapat menunjukkan
hasil yang maksimal jika dilihat dari tingkat kesejahteraan petani dan
kontribusinya pada pendapatan nasional. Pembangunan pertanian di Indonesia
dianggap penting dari keseluruhan pembangunan nasional. Ada beberapa hal yang
mendasari mengapa pembangunan pertanian di Indonesia mempunyai peranan penting,
antara lain: potensi Sumber Daya Alam yang besar dan beragam, pangsa terhadap
pendapatan nasional yang cukup besar, besarnya pangsa terhadap ekspor nasional,
besarnya penduduk Indonesia yang menggantungkan hidupnya pada sektor ini,
perannya dalam penyediaan pangan masyarakat dan menjadi basis pertumbuhan di
pedesaan. Potensi pertanian Indonesia yang besar namun pada kenyataannya sampai
saat ini sebagian besar dari petani kita masih banyak yang termasuk golongan
miskin. Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah pada masa lalu bukan saja
kurang memberdayakan petani tetapi juga terhadap sektor pertanian keseluruhan.
Pembangunan
pertanian pada masa lalu mempunyai beberapa kelemahan, yakni hanya terfokus
pada usaha tani, lemahnya dukungan kebijakan makro, serta pendekatannya yang
sentralistik. Akibatnya usaha pertanian di Indonesia sampai saat ini masih
banyak didominasi oleh usaha dengan: (a) skala kecil, (b) modal yang terbatas,
(c) penggunaan teknologi yang masih sederhana, (d) sangat dipengaruhi oleh
musim, (e) wilayah pasarnya lokal, (f) umumnya berusaha dengan tenaga kerja
keluarga sehingga menyebabkan terjadinya involusi pertanian (pengangguran
tersembunyi), (g) akses terhadap kredit, teknologi dan pasar sangat rendah, (h)
pasar komoditi pertanian yang sifatnya mono/oligopsoni yang dikuasai oleh
pedagang-pedagang besar sehingga terjadi eksploitasi harga yang merugikan
petani. Selain itu, masih ditambah lagi dengan permasalahan-permasalahan yang
menghambat pembangunan pertanian di Indonesia seperti pembaruan agraria
(konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian) yang semakin tidak
terkendali lagi, kurangnya penyediaan benih bermutu bagi petani, kelangkaan
pupuk pada saat musim tanam datang, swasembada beras yang tidak meningkatkan
kesejahteraan petani dan kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Petani, menuntut
pemerintah untuk dapat lebih serius lagi dalam upaya penyelesaian masalah
pertanian di Indonesia demi terwujudnya pembangunan pertanian Indonesia yang
lebih maju demi tercapainya kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Pembangunan
pertanian di masa yang akan datang tidak hanya dihadapkan untuk memecahkan
masalah-masalah yang ada, namun juga dihadapkan pula pada tantangan untuk
menghadapi perubahan tatanan politik di Indonesia yang mengarah pada era
demokratisasi yakni tuntutan otonomi daerah dan pemberdayaan petani. Disamping
itu, dihadapkan pula pada tantangan untuk mengantisipasi perubahan tatanan
dunia yang mengarah pada globalisasi dunia. Oleh karena itu, pembangunan
pertanian di Indonesia tidak saja dituntut untuk menghasilkan produk-produk
pertanian yang berdaya saing tinggi namun juga mampu mengembangkan pertumbuhan
daerah serta pemberdayaan masyarakat. Ketiga tantangan tersebut menjadi sebuah
kerja keras bagi kita semua apabila menginginkan pertanian kita dapat menjadi
pendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat dan dapat menjadi motor penggerak
pembangunan bangsa.
Pembangunan
pertanian di Indonesia dengan prinsip kemandirian dan berkelanjutan senantiasa
harus diwujudkan dari waktu ke waktu, sebagai prasyarat bagi keberlanjutan
eksistensi bangsa dalam mengatasi ancaman kelangkaan pangan dunia yang
dampaknya semakin terlihat nyata. Berkaca dari Konferensi Tingkat Tinggi (KTT)
Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Vladivostok, Rusia, 8-9 September
lalu, yang mengangkat tema ancaman krisis pangan global, perhatian terhadap
masalah krisis pangan harus lebih ditingkatkan.
Tema krisis
pangan kembali mengemuka setelah jumlah penduduk dunia diperkirakan akan
melonjak menjadi 9 miliar pada tahun 2050, naik sebelumnya 7 miliar pada tahun
2011. Perhatian terhadap masalah tersebut semakin bertambah menguat akibat ancaman
krisis pangan kini semakin membesar, terutama setelah Organisasi Pangan dan
Pertanian pada Agustus lalu mengeluarkan laporan kenaikan harga-harga pangan
dan Departemen Pertanian Amerika Serikat kembali merevisi angka estimasi
penurunan produksi pangan, terutama biji-bijian. Bahkan, FAO secara serius
mengingatkan Indonesia tentang ancaman krisis pangan ini.
Laporan
Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) menyebutkan bahwa kenaikan harga pangan
biji-bijian dunia telah mencapai 17 persen (38 poin dalam indeks harga)
dibandingkan dengan harga bulan Juni 2012. Departemen Pertanian AS (USDA) juga
telah merevisi estimasi produksi jagung, yang diperkirakan menurun 17 persen
pada Agustus 2012 karena kekeringan yang sangat dahsyat. Harga jagung di
tingkat internasional juga telah meningkat sampai 23 persen. Bahkan, kenaikan
harga jagung tercatat 46 persen jika dibandingkan dengan harga pada Mei 2012.
Kenaikan harga jagung masih akan terus berlangsung karena sekitar 42 persen
jagung dunia dihasilkan oleh AS, terutama di daerah Midwest, yang kini
bermasalah karena kekeringan hebat.
Kekeringan hebat
yang melanda Rusia, sebagai salah satu produsen gandum dunia, sehingga telah
menaikkan harga gandum sampai 19 persen. Stok gandum dunia diperkirakan menurun
menjadi 179 juta ton sehingga volume yang diperdagangkan pun akan menurun, yang
akan mengerek harga gandum lebih tinggi lagi. Dengan ketergantungan 100 persen
pada gandum impor, dan total impor gandum Indonesia yang mencapai 6,6 juta ton
(naik 6,2 persen), kenaikan harga tepung terigu di dalam negeri akan memiliki
dampak berantai yang pasti berpengaruh terhadap kinerja sektor riil di
Indonesia.
Tingkat produksi
Rusia pada tahun 2012 diperkirakan angkanya akan mencapai 70-75 juta ton gandum
dibandingkan pada tahun sebelumnya sebesar 94 juta ton. Kondisi ini ternyata
mengindikasikan bahwa krisis pangan kini telah menjadi ancaman serius bagi
sebagian besar penduduk dunia.
Indonesia
sebenarnya memiliki pengalaman yang baik dalam merumuskan respons kebijakan
dalam meredam dampak krisis pangan global 2008-2009. Kebetulan juga musim hujan
cukup bersahabat sehingga produksi beras, sebagai pangan pokok, juga meningkat
bahkan di atas 6 persen. Perum Bulog juga mampu melakukan manajemen logistik
beras dan penyaluran beras untuk rakyat miskin (raskin). Kini, musim hujan di
Indonesia diperkirakan masih akan terlambat sehingga kinerja produksi pangan
tak sebaik tahun 2008-2009.
Secara hakikat,
sejarah tak akan pernah dapat diulang secara sama persis sehingga respons
kebijakan yang harus segera diambil pemerintah juga perlu lebih inovatif. Benar
bahwa Kementerian Pertanian telah melakukan rapat koordinasi dengan seluruh
kepala dinas pertanian. Begitu pula konsep dan strategi telah disusun dengan
sejumlah perencanaan akan menambah jumlah anggaran produksi pangan, membuka
akses pada daerah-daerah yang terisolasi, serta meningkatkan pendapatan para
petani. Namun langkah nyata dan pelaksanaan kebijakan di tingkat lapangan
sangat ditunggu segera karena ancaman krisis pangan tidak akan dapat diselesaikan
hanya di ruang rapat.
5 (lima) Masalah Pembangunan Pertanian :
Upaya mewujudkan
pembangunan pertanian tidak terlepas dari berbagai macam masalah yang dihadapi,
masalah Pertama yaitu penurunan
kualitas dan kuantitas sumber daya lahan pertanian. Dari segi kualitas,
faktanya lahan dan pertanian kita sudah mengalami degradasi yang luar biasa,
dari sisi kesuburannya akibat dari pemakaian pupuk an-organik. Berdasarkan Data
Katalog BPS, Juli 2012, Angka Tetap (ATAP) tahun 2011, untuk produksi komoditi
padi mengalami penurunan produksi Gabah Kering Giling (GKG) hanya mencapai 65,76 juta ton dan lebih rendah 1,07 persen
dibandingkan tahun 2010. Jagung sekitar 17,64 juta ton pipilan kering atau 5,99
persen lebih rendah tahun 2010, dan kedelai sebesar 851,29 ribu ton biji kering
atau 4,08 persen lebih rendah dibandingkan 2010, sedangkan kebutuhan pangan
selalu meningkat seiring pertambahan jumlah penduduk Indonesia.
Berbagai hasil
riset mengindikasikan bahwa sebagian besar lahan pertanian intensif di
Indonesia, terutama di Pulau Jawa telah menurun produktivitasnya, dan mengalami
degradasi lahan terutama akibat rendahnya kandungan C-organik dalam tanah yaitu
kecil dari 2 persen. Padahal, untuk memperoleh produktivitas optimal dibutuhkan
kandungan C-organik lebih dari 2,5 persen atau kandungan bahan organik tanah
> 4,3 persen. Berdasarkan kandungan C-organik tanah/lahan pertanian tersebut
menunjukkan lahan sawah intensif di Jawa dan di luar Jawa tidak sehat lagi
tanpa diimbangi pupuk organik dan pupuk hayati, bahkan pada lahan kering yang
ditanami palawija dan sayur-sayuran di daerah dataran tinggi di berbagai
daerah. Sementara itu, dari sisi kuantitasnya konfeksi lahan di daerah Jawa
memiliki kultur dimana orang tua akan memberikan pembagian lahan kepada anaknya
turun temurun, sehingga terus terjadi penciutan luas lahan pertanian yang
beralih fungsi menjadi lahan bangunan dan industri.
Masalah kedua yang dialami saat ini adalah
terbatasnya aspek ketersediaan infrastruktur penunjang pertanian yang juga
penting namun minim ialah pembangunan dan pengembangan waduk. Pasalnya, dari
total areal sawah di Indonesia sebesar 7.230.183 ha, sumber airnya 11 persen
(797.971 ha) berasal dari waduk, sementara 89 persen (6.432.212 ha) berasal
dari non-waduk. Karena itu, revitalisasi waduk sesungguhnya harus menjadi
prioritas karena tidak hanya untuk mengatasi kekeringan, tetapi juga untuk
menambah layanan irigasi nasional. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
menyatakan, 42 waduk saat ini dalam kondisi waspada akibat berkurangnya pasokan
air selama kemarau. Sepuluh waduk telah kering, sementara 19 waduk masih
berstatus normal. Selain itu masih rendahnya kesadaran dari para pemangku
kepentingan di daerah-daerah untuk mempertahankan lahan pertanian produksi,
menjadi salah satu penyebab infrastruktur pertanian menjadi buruk.
Selanjutnya,
masalah ketiga adalah adanya
kelemahan dalam sistem alih teknologi. Ciri utama pertanian modern adalah
produktivitas, efisiensi, mutu dan kontinuitas pasokan yang terus menerus harus
selalu meningkat dan terpelihara. Produk-produk pertanian kita baik komoditi
tanaman pangan (hortikultura), perikanan, perkebunan dan peternakan harus
menghadapi pasar dunia yang telah dikemas dengan kualitas tinggi dan memiliki
standar tertentu. Tentu saja produk dengan mutu tinggi tersebut dihasilkan
melalui suatu proses yang menggunakan muatan teknologi standar. Indonesia
menghadapi persaingan yang keras dan tajam tidak hanya di dunia tetapi bahkan
di kawasan ASEAN. Namun tidak semua teknologi dapat diadopsi dan diterapkan
begitu saja karena pertanian di negara sumber teknologi mempunyai karakteristik
yang berbeda dengan negara kita, bahkan kondisi lahan pertanian di tiap daerah
juga berbeda-beda. Teknologi tersebut harus dipelajari, dimodifikasi,
dikembangkan, dan selanjutnya baru diterapkan ke dalam sistem pertanian kita.
Dalam hal ini peran kelembagaan sangatlah penting, baik dalam inovasi alat dan
mesin pertanian yang memenuhi kebutuhan petani maupun dalam pemberdayaan
masyarakat. Lembaga-lembaga ini juga dibutuhkan untuk menilai respon sosial,
ekonomi masyarakat terhadap inovasi teknologi, dan melakukan penyesuaian dalam
pengambilan kebijakan mekanisasi pertanian
Hal lainnya
sebagai masalah keempat, muncul dari
terbatasnya akses layanan usaha terutama di permodalan. Kemampuan petani untuk
membiayai usaha taninya sangat terbatas sehingga produktivitas yang dicapai
masih di bawah produktivitas potensial. Mengingat keterbatasan petani dalam
permodalan tersebut dan rendahnya aksesibilitas terhadap sumber permodalan formal,
maka dilakukan pengembangkan dan mempertahankan beberapa penyerapan input
produksi biaya rendah (low cost production) yang sudah berjalan ditingkat
petani. Selain itu, penanganan pasca panen dan pemberian kredit lunak serta
bantuan langsung kepada para petani sebagai pembiayaan usaha tani cakupannya
diperluas. Sebenarnya, pemerintah telah menyediakan anggaran sampai 20 Triliun
untuk bisa diserap melalui tim Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan Bank BRI khusus
Kredit Bidang Pangan dan Energi.
Yang terakhir
menyangkut, masalah kelima adalah
masih panjangnya mata rantai tata niaga pertanian, sehingga menyebabkan petani
tidak dapat menikmati harga yang lebih baik, karena pedagang telah mengambil
untung terlalu besar dari hasil penjualan.
Pada dasarnya
komoditas pertanian itu memiliki beberapa sifat khusus, baik untuk hasil
pertanian itu sendiri, untuk sifat dari konsumen dan juga untuk sifat dari
kegiatan usaha tani tersebut, sehingga dalam melakukan kegiatan usaha tani
diharapkan dapat dilakukan dengan seefektif dan seefisien mungkin, dengan
memanfaatkan lembaga pemasaran baik untuk pengelolaan, pengangkutan,
penyimpanan dan pengolahannya. Terlepas dari masalah-masalah tersebut, tentu
saja sektor pertanian masih saja menjadi tumpuan harapan, tidak hanya dalam
upaya menjaga ketahanan pangan nasional tetapi juga dalam penyediaan lapangan
kerja, sumber pendapatan masyarakat dan penyumbang devisa bagi negara.
Di bawah ini
terdapat beberapa solusi yang perlu dan harus segera mungkin dilakukan oleh pemerintah maupun pihak-pihak
tertentu terkait dengan masalah pertanian yang dihadapi oleh Indonesia:
o
Optimalisasi
program pertanian organik secara menyeluruh di Indonesia serta menuntut
pemanfaatan lahan tidur untuk pertanian yang produktif dan ramah lingkungan.
o
Regulasi
konversi lahan dengan ditetapkannya kawasan lahan abadi yang eksistensinya
dilindungi oleh undang-undang.
o
Penguatan
sistem kelembagaan tani dan pendidikan kepada petani, berupa program insentif
usaha tani, program perbankan pertanian, pengembangan pasar dan jaringan
pemasaran yang berpihak kepada petani, serta pengembangan industrialisasi yang
berbasis pertanian/pedesaan, dan mempermudah akses-akses terhadap sumber-sumber
informasi IPTEK.
o
Indonesia
harus mampu keluar dari WTO dan segala bentuk perdagangan bebas dunia pada
tahun 2014.
o
Perbaikan
infrastruktur pertanian dan peningkatan teknologi tepat guna yang berwawasan
pada konteks kearifan lokal serta pemanfaatan secara maksimal hasil-hasil
penelitian ilmuwan lokal.
o
Mewujudkan
kedaulatan pangan di Indonesia.
o
Peningkatan
mutu dan kesejahteraan penyuluh pertanian.
o
Membuat
dan memberlakukan Undang-Undang perlindungan atas Hak Asasi Petani.
o
Memposisikan
pejabat dan petugas di setiap instansi maupun institusi pertanian dan
perkebunan sesuai dengan bidang keilmuannya masing-masing.
o
Mewujudkan
segera reforma agraria.
o
Perimbangan
muatan informasi yang berkaitan dengan dunia pertanian serta penyusunan konsep
jam tayang khusus untuk publikasi dunia pertanian di seluruh media massa yang
ada.
o
Bimbingan
lanjutan bagi lulusan bidang pertanian yang terintegrasi melalui penumbuhan
wirausahawan dalam bidang pertanian (inkubator bisnis) berupa pelatihan dan
pemagangan (retoling) yang berorientasi life skill, entrepreneurial skill dan
kemandirian berusaha, program pendidikan dan pelatihan bagi generasi muda
melalui kegiatan magang ke negara-negara dimana sektor pertaniannya telah
berkembang maju, peningkatan mutu penyelenggaraan pendidikan menengah dan
pendidikan tinggi pertanian, pengembangan program studi bidang pertanian yang
mampu menarik generasi muda, serta program-program lain yang bertujuan untuk
menggali potensi, minat, dan bakat generasi muda di bidang pertanian serta
melahirkan generasi muda yang mempunyai sikap ilmiah, professional, kreatif,
dan kepedulian sosial yang tinggi demi kemajuan pertanian Indonesia, seperti
olimpiade pertanian, gerakan cinta pertanian pada anak, agriyouth camp, dan
lain-lain.
o
Membrantas
mafia-mafia pertanian.
o
Melibatkan
mahasiswa dalam program pembangunan pertanian melalui pelaksanaan bimbingan
massal pertanian, peningkatan daya saing mahasiswa dalam kewirausahaan serta
dana pendampingan untuk program–program kemahasiswaan.
Selain hal di
atas, sebenarnya masih banyak hal yang harus kita lakukan dalam mengembangkan
pertanian pada masa yang akan datang. Kesejahteraan petani dan keluarganya
merupakan tujuan utama yang menjadi prioritas dalam melakukan program apapun.
Tentu hal itu tidak boleh hanya menguntungkan satu golongan saja namun
diarahkan untuk mencapai pondasi yang kuat pada pembangunan nasional.
Pembangunan adalah penciptaan sistem dan tata nilai yang lebih baik hingga
terjadi keadilan dan tingkat kesejahteraan yang tinggi. Pembangunan pertanian
harus mengantisipasi tantangan demokratisasi dan globalisasi untuk dapat
menciptakan sistem yang adil. Selain itu harus diarahkan untuk mewujudkan
masyarakat yang sejahtera, khususnya petani melalui pembangunan sistem
pertanian dan usaha pertanian yang kuat dan mapan. Dimana Sistem tersebut harus
dapat berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan dan desentralistik.
Untuk menunjang
maksimalisasi tercapainya pemecahan masalah pertanian di Indonesia, diperlukan
juga terobosan baru menyangkut pembenahan kriteria menteri pertanian Indonesia.
Sedapat mungkin para mentri pertanian di Indonesia harus memiliki kriteria
sebagai berikut:
o
Berlatar
belakang pendidikan pertanian serta menguasai ilmu pertanian terapan dan
teknis.
o
Berani
turun secara langsung kelapangan melihat kondisi permasalahan pertanian di
Indonesia.
o
Mampu
menjadikan pertanian sebagai leading sector perekonomian bangsa.
o
Bersedia
berkomunikasi dan bekerjasama serta mengikutsertakan petani, mahasiswa,
institusi, dan instansi pertanian dalam pengambilan kebijakan.
o
Membuat
dan mampu mengawal kebijakan-kebijakan yang berpihak pada upaya pembangunan
pertanian dan kepentingan petani.
o
Berpengalaman
dan berdedikasi di bidang pertanian.
o
Memiliki
track record yang baik (tidak pernah terlibat kasus hukum).
o
Loyal
terhadap pemerintah dan NKRI.
o
Mewujudkan
program Wilayah Bebas Korupsi (WBK) di Departemen Pertanian.
o
Berani
bertindak cepat dan tepat dalam mengambil keputusan untuk kemajuan pertanian
Indonesia.
o
Mampu
mewujudkan kedaulatan pangan di Indonesia pada tahun 2014.
o
Berani
membuat program peningkatan kesejahteraan untuk petani.
o
Berani
membuat kebijakan bersama dengan Departemen Pendidikan Nasional agar dunia
pendidikan pertanian lebih diperhatikan dan maju.
Dengan demikian
rencana menuntaskan masalah pertanian di Indonesia yang berorientasi pada
pembangunan jangka panjang akan lebih optimal dan akan lebih terorganisir
dengan baik.
3. Perikanan
Kegiatan ekonomi
masyarakat dalam bidang perikanan di Indonesia, telah menjadi salah satu
kegiatan perekonomian penduduk yang sangat penting. Perikanan dan kelautan
tidak lagi menjadi subsektor pada sektor pertanian. Melainkan telah menjadi
salah satu sektor yang kedudukannya sama dengan sektor-sektor lainnya. Masalah
perikanan tidak lepas dari kehidupan masyarakat nelayan. Kerena masyarakat
nelayan adalah masyarakat yang terlibat langsung dalam kegiatan ekonomi, yang
mengandalkan laut sebagai mata pencahariannya.
Indonesia yang
memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia (81.000 km) setelah Kanada dan
kekayaan alam laut yang besar dan beranekaragam telah menjadikan Indonesia
sebagai salah satu negara yang berpotensi besar dalam bidang perikanan. Namun,
seperti halnya kondisi perikanan dunia, kondisi perikanan tangkap Indonesia
juga semakin menurun dari tahun ke tahun sehingga hal ini mendorong upaya
peningkatan aktivitas di bidang budidaya ikan. Berdasarkan data dari Badan
Pangan Dunia (FAO), konsumsi ikan dunia telah meningkat dua kali lipat sejak
tahun 1973 dan negara-negara berkembang mengambil peran penting dalam masalah
ini. China dengan dominasi dalam faktor pendapatan dan kependudukan, telah mendominasi
konsumsi ikan dunia dan menggeser posisi jepang, dimana konsumsi ikannya
sebanyak 36% dalam tahun 1997 dan dibandingkan hanya sekitar 11% di tahun 1973.
Sementara jepang ditahun yang sama menurun dari 24% menjadi tinggal 11%. Saat
ini lebih kurang seperempat bagian dari ikan yang dikonsumsi oleh penduduk
dunia adalah berasal produk budidaya dan persentase ini akan terus meningkat,
sementara produk hasil tangkapan dari laut dan danau akan terus menurun
disebabkan overfishing dan kerusakan lingkungan. Penurunan ini terjadi selama
10 tahun (1970 sampai 1980 an), dimana penangkapan ikan dilakukan secara
besar-besaran sebagai hasil dari perluasan area penangkapan, penerapan
teknologi penangkapan terbaru dan meningkatnya inveastasi pada sektor ini. Akibatnya
produk ikan dari hasil penangkapan melonjak tajam dari 44 juta ton di tahun
1973 menjadi 65 juta ton di tahun 1997.
Kondisi ini
menyebabkan operasi penangkapan ikan telah menjadikan eksploitasi yang berlebih
dilaut.Oleh karena itu harapan kedepan dari produksi perikanan dunia tertumpu
pada aktivitas budidaya ikan yang pada dasarwarsa ini lebih diarahkan ke bidang
budidaya laut. Budidaya ikan saat ini menyumbang sekitar 30% dari total
produksi ikan dunia dan negara-negara Asia mendomniasi sekitar 87% produksi
ikan budidaya dunia. China sejauh ini memimpin produksi ikan hasil budidaya
dengan menyumbang sekitar 60% produk budidaya ikan dunia. Kemudian diikuti oleh
India 9%, Jepang (4%) dan Indonesia diurutan keempat dengan menyumbang sekitar
4% produksi perikanan budidaya ikan dunia (FAO, 1997). Kecenderungan kegiatan
budidaya terus meningkat sementara aktivitas penangkapan akan berjalan lambat
sampai tahun 2020. Sementara bila kita melihat kondisi perikanan di Indonesia
tercata bahwa peningkatan rata-rata produksi budidaya ikan tahunan lebih tinggi
dibanding dengan peningkatan aktivitas penangkapan. Sebagai contoh, dari tahun
1986-1991, produksi ikan dari perikanan tangkap meningkat sebesar 5%, sementara
pertumbuhan tahunan dalam produksi budidaya adalah 8.5%.
Peranan
peningkatan budidaya dalam produksi perikanan dapat dibuktikan melalui
meningkatnya kontribusi perikanan budidaya terhadap total produksi perikanan,
meskipun kegiatan budidaya ikna ini hanya menyumbang sebesar 30% dati total
produksi perikanan nasional. Sebagai contoh, pada tahun 1980, total ekspor
perikanan Indonesia hanya sekitar 200 juta US dolar, tetapi pada tahun 2000,
telah meningkat menjadi 1600 juta US dolar.
Berdasarkan hal
ini, kontribusi budidaya terhadap produksi nasional perikanan diharapkan
meningkat agar kedepan diharapkan perikanan budidaya menjadi salah satu andalan
sumber devisa non-migas.
Sebenarnya
situasi ini pernah terjadi ditahun 80-an dimana animo masyarakat untuk kegiatan
budidaya sangat tinggi. Hal ini dibuktikan dengan kegiatan tambak udang dan
bandeng yang saat itu udang menjadi salah satu andalan ekspor non migas dan
menjadi primadona perikanan Indonesia.
Aktivitas
budidaya udang yang tinggi tetapi tidak dibarengi dengan usaha penyelamatan
lingkungan perairan mengakibatkan usaha tambak udang menjadi hancur akibat
serangan hama dan penyakit yang melanda hampir seluruh kawasan tambak di
Indonesia. Tidak hanya itu, kerusakan lingkungan akibat kegiatan tambak udang
(salah satunya adalah hancurnya ekosistem hutan mangrove dan habitat organisme)
menjadi tantangan yang sangat berat untuk pengembangan budidaya ikan ke depan.
Oleh karena itu
kedepan harus dimunculkan konsep bagaimana mengembangkan ‘budidaya ikan ramah
lingkungan’ yang tidak hanya meningkat dalam produksi tetapi juga aman dan
ramah terhadap lingkungan perairan dimana organisme itu dibudidayakan.
Sampai saat ini
pihak pemerintah, yakni Departemen Kelautan dan Perikanan yang merupakan
pengelola sumber daya perikanan, terus mencari dan menyempurnakan cara yang
tepat untuk diterapkan. Salah satu contoh adalah pembagian daerah perairan
Indonesia menjadi sembilan Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP). Pembagian
wilayah ini didasarkan pada daerah tempat ikan hasil tangkapan didaratkan di
pelabuhan. Pengelompokan tidak didasarkan pada kemiripan ekosistem yang ada,
tetapi lebih kepada lokasi pendaratan ikan. Hal ini berpotensi misleading
karena dapat terjadi bahwa WPP Laut Jawa dianggap memproduksi tuna tinggi,
padahal tuna tersebut sebenarnya berasal dari Samudera Hindia. Tuna ini
seolah-olah berasal dari Laut Jawa karena didaratkan di Pelabuhan Muara Baru
Jakarta, yang masuk WPP Laut Jawa.Aspek pengelolaan wilayah ini erat kaitannya
dengan kondisi stok ikan di perairan Indonesia.
Kemampuan
menduga jumlah populasi ikan (stock assessment) secara akurat sangat ditentukan
ketersediaan informasi dan data yang tepat. Hal ini sudah menjadi perhatian
para peneliti maupun pengambil kebijakan di lingkungan Departemen Kelautan dan
Perikanan. Namun, penentuan jumlah tangkap maksimum lestari (maximum
sustainable yield) atau yang lazim dikenal dengan MSY perlu disikapi hati-
hati. Berbagai asumsi dalam perhitungan MSY telah banyak berubah dan tidak
valid lagi. Salah satu contoh adalah faktor teknologi yang berkembang dengan
pesat sehingga kemampuan penangkapan oleh satu unit alat tangkap (catch per
unit effort/CPUE) akan sangat dinamis mengikuti perkembangan teknologi.
Artinya, koefisien kemampuan penangkapan (catchability coefficient) yang
digunakan dalam perhitungan MSY tidak dapat dianggap konstan karena sangat
bergantung pada perkembangan teknologi.
Hal lain yang
ingin di tekankan adalah pemahaman mengenai Illegal Unreported and Unregulated
(IUU) Fishing. Setiap tahun Indonesia rugi Rp 1-4 miliar dollar AS akibat
kegiatan pencurian ikan. Selain kerugian finansial, kerugian terbesar dialami
sumber daya perikanan itu sendiri.Apabila dijumlahkan secara keseluruhan, hasil
tangkapan yang tergolong dalam IUU Fishing akan terlihat bahwa kerugian yang
dialami Indonesia adalah sangat signifikan. Berdasarkan hasil penelitian global
diperkirakan IUU Fishing mencapai 30-40 persen dari hasil tangkapan total.
Dalam definisi kegiatan ilegal pencurian ikan, dimasukkan pula kategori hasil
tangkapan yang tidak dilaporkan (unreported). Termasuk di dalamnya adalah hasil
tangkapan sampingan (by catch) dan kegiatan perikanan yang tidak diatur dalam
sistem peraturan dan perundang-undangan (unregulated). Terhadap kedua kategori
tersebut, masih sangat minim perhatian yang diberikan, baik oleh para peneliti
maupun pengelola perikanan Indonesia.
Dalam banyak
kesempatan, komponen unreported dan unregulated masih dianggap tabu untuk
dilaporkan, atau tidak perlu dilaporkan sama sekali. Padahal, untuk mengelola
suatu sumber daya perikanan yang besar, seperti yang dimiliki Indonesia,
persoalan resource accounting sangat penting. Ini untuk memberikan informasi
akurat tentang berapa besar sumber daya (perikanan) yang dimiliki dan berapa
banyak pula jumlah yang diekstrak dari total ketersediaan sumber daya tersebut
melalui kegiatan resmi perikanan.Saat ini kegiatan pencurian ikan telah menjadi
isu yang sangat penting dalam manajemen perikanan dunia. Masalah ini telah
berkembang menjadi masalah global sehingga FAO mengeluarkan guideline dalam
bentuk Rencana Kerja Internasional (International Plan of Action) sebagai usaha
internasional untuk pencegahan dan pemberantasan kegiatan yang sangat merugikan
ini.
Agar pengelolaan
optimal, berbagai informasi seperti data hasil tangkapan (jenis ikan, ukuran,
dan jumlah), daerah tangkapan (fishing ground) serta upaya penangkapan (effort)
merupakan informasi kunci untuk dapat membuat suatu analisis pendugaan stok
(stock assessment) yang baik. Keberhasilan analisis stock assessment sangat
bergantung pada akurasi data yang dipakai. Pembagian WPP yang ada saat ini
lebih ditujukan untuk memudahkan sistem pendataan. Perlu kiranya dipikirkan
untuk membuat pengelompokan berdasarkan kondisi lingkungan perairan dan sifat-
sifat bio-ekologis sumber daya perikanan yang terkandung di dalamnya. Hasil
kajian para pakar perikanan Indonesia menunjukkan kondisi tangkap lebih
(overfishing) pada beberapa wilayah perairan Indonesia termasuk Zona Ekonomi
Eksklusif (ZEE). Keadaan demikian mengharuskan pihak pengelola (DKP) untuk
membatasi pemberian izin penangkapan ikan di daerah-daerah tersebut. Perlu
dilakukan rasionalisasi penangkapan (effort rationalization) untuk mendorong
tingkat pemanfaatan yang berlebihan di suatu wilayah menjadi berkurang atau
terdistribusi secara lebih merata. Hal ini dapat dilihat dari ketidak-seimbangan
fishing effort antara Indonesia bagian Barat dan Indonesia bagian Timur.
Di bagian lain,
strategi untuk memperkuat peraturan dan perundang-undangan yang jelas dan
disiplin dalam membatasi masuknya perusahaan dan individu baru dalam kegiatan perikanan
harus ditingkatkan. Agar semua berjalan baik, diperlukan adanya peraturan dan
perundang-undangan yang jelas untuk mengawasi jalannya pemberian izin
penangkapan ikan dan budidaya. Pemanfaatan alat tangkap yang merusak
lingkungan, seperti trawl, bahan peledak, dan racun sangat berbahaya bagi
kelangsungan hidup biota lainnya di dalam ekosistem sebaiknya dilarang.Langkah
terakhir dalam menyelamatkan sumber daya ikan, terutama di laut, adalah
menciptakan daerah-daerah perlindungan laut (marine protected areas). Opsi ini
adalah kunci keberhasilan pengelolaan perikanan berbasis lingkungan. Sama
halnya dengan makhluk hidup lainnya, di mana diperlukan tempat yang aman dari
pemangsaan, demikian pula halnya dengan populasi ikan di laut. Dengan
diciptakannya daerah-daerah (zones) yang aman di dalam daerah perlindungan laut
dari penangkapan (partial no-take zones), maka diharapkan populasi ikan yang
telah mengalami tangkap lebih akan pulih.
Sebagai
alternatif dari perikanan tangkap adalah perikanan budidaya meski tetap perlu
disikapi hati-hati. Penyebabnya adalah apabila memelihara ikan predator, hal
ini hanya akan membuat pembudidayaannya harus menangkap ikan secara berlebihan
di laut untuk membuat pakan. Dengan kata lain, ikan-ikan budidaya jenis
karnivora tidak akan membuat keadaan menjadi lebih baik bagi stok ikan di
laut.Apabila membudidayakan ikan-ikan jenis memiliki herbivora (trophic level
rendah), maka hal ini akan memberikan nilai tambah dalam usaha konservasi
populasi ikan di laut, karena tidak akan mengeksploitasi sumber daya ikan di
laut untuk konsumsi ikan budidaya yang sebenarnya cocok untuk konsumsi
manusia.Penelitian yang mengarah pada pengelolaan sumber daya perikanan dan kelautan
yang berbasis ekosistem sangat diperlukan untuk dijadikan dasar pengambilan
kebijakan nasional maupun daerah. Hubungan antara kondisi perairan, seperti
sifat-sifat oseanografis, dan sumber daya ikan yang terkandung di dalamnya
harus dapat dimengerti dan dapat diakses dengan baik agar dapat dijadikan modal
informasi bagi para nelayan dan petambak untuk menentukan kegiatan mereka.
4. Energi alternatif
Energi
alternatif adalah istilah yang merujuk kepada semua energi yang dapat digunakan
yang bertujuan untuk menggantikan bahan bakar konvensional tanpa akibat yang
tidak diharapkan dari hal tersebut. Umumnya, istilah ini digunakan untuk
mengurangi penggunaan bahan bakar hidrokarbon yang mengakibatkan kerusakan
lingkungan akibat emisi karbon dioksida yang tinggi, yang berkontribusi besar
terhadap pemanasan global berdasarkan Intergovernmental Panel on Climate
Change. Selama beberapa tahun, apa yang sebenarnya dimaksud sebagai energi
alternatif telah berubah akibat banyaknya pilihan energi yang bisa dipilih yang
tujuan yang berbeda dalam penggunaannya.
Istilah
"alternatif" merujuk kepada suatu teknologi selain teknologi yang
digunakan pada bahan bakar fosil untuk menghasilkan energi. Teknologi
alternatif yang digunakan untuk menghasilkan energi dengan mengatasi masalah
dan tidak menghasilkan masalah seperti penggunaan bahan bakar fosil. Oxford
Dictionary mendefinisikan energi alternatif sebagai energi yang digunakan
bertujuan untuk menghentikan penggunaan sumber daya alam atau pengrusakan
lingkungan.
Pemikiran yang
berkembang di masyarakat bahwa Indonesia masih menjadi salah satu negara
penghasil minyak terbesar merupakan pemikiran yang harus segera diganti. Karena
saat ini, kenyataan yang terjadi adalah Indonesia sudah bukan merupakan
penghasil minyak terbesar. Produksi minyak semakin hari semakin sedikit.
Seperti yang
pernah dijelaskan oleh Almarhum Widjajono Partowidagdo, Indonesia dikatakan
menghadapi situasi energi yang sudah berubah, dari produsen menjadi konsumen
energi. Yang paling sulit adalah merubah mindset masyarakat bahwa Indonesia
masih menjadi penghasil minyak. Era minyak sudah berakhir.
Sebagai salah
satu sumber daya alam yang terus menerus digunakan selama ini, tentu saja
membuat produksi minyak di Indonesia semakin menurun. Keadaan ini akan semakin
parah jika sampai saat ini diversifikasi energi tidak segera dilaksanakan.
Pasalnya, setiap hari dan setiap waktu masyarakat terus menerus menggunakan
bahan bakar fosil untuk beraktifitas. Jika keadaan ini tetap dibiarkan maka
Indonesia bisa mengalami krisis energi.
Permasalahan
mengenai penggunaan energi alternatif selalu menjadi isu hangat dikalangan
pakar energi apalagi saat produksi minyak di Indonesia semakin menurun
sedangkan konsumsi minyak semakin meningkat. Jelas ini sangat berbanding
terbalik.
Indonesia yang
kaya akan sumber daya alam sebenarnya memiliki berbagai pilihan untuk dijadikan
energi terbarukan seperti tenaga geotermal, tenaga air dan ombak laut, tenaga
angin, tenaga surya, hingga sumber energi dari berbagai tumbuhan. Indonesia
juga bisa mengembangkan Biodiesel dan Fuel Cell. Memang, semua itu tidaklah
mudah tetapi jika memang memiliki kemauan untuk segera melakukannya pasti akan
banyak cara sehingga Indonesia dapat segera menggunakan energi terbarukan.
Apalagi, Indonesia juga memiliki banyak pakar yang ahli dalam bidang energi
pasti itu akan mempermudah Indonesia dalam mengembangkan energi terbarukan.
Sayangnya,
pengembangan energi alternatif selalu terganjal dengan banyak kepentingan
terutama kepentingan politik negeri ini. Untuk mengembangkan suatu hal yang
baru di Indonesia pasti akan menempuh jalur yang panjang dan sulit. Sekedar
mengingatkan, saat ada kebijakan minyak tanah diganti menjadi gas, banyak
perdebatan alot yang terjadi di berbagai media padahal digantinya minyak tanah
menjadi gas merupakan sebuah siasat untuk mengurangi penggunaan energi fosil
dari minyak tanah.
Begitulah negeri
ini, selalu banyak perdebatan dan pertentangan tanpa melihat sisi positif dari
pengembangan energi. Bukan rahasia lagi, jika salah satu pihak mengeluarkan
suatu pandangan dalam masalah energi maka pihak tandingannya pun sangat
berupaya keras untuk menggagalkannya tanpa mencoba mengerti dan memahami
kompleksnya masalah energi di Indonesia.
Dengan
memikirkan masa depan energi yang ada di Indonesia, semoga saja banyak pihak
yang bisa memahami bahwa sudah saatnya Indonesia menggunakan energi terbarukan.
Semua itu untuk masa depan Indonesia yang lebih baik. Padahal bila kita lihat
saat ini potensi energi terbarukan sudah sangat melimpah, mulai dari energi
surya, angin, mikro hidro, geotermal, sampai biomassa. Akan tetapi meskipun
dengan keadaan demikian kenyataanya Indonesia masih sangat minim memanfaatkan
energi ini untuk memenuhi kebutuhan listrik. Hingga sekarang energi terbarukan
itu baru memasok satu persen energi listrik masyarakat. Seharusnya dengan kian
menipisnya cadangan minyak bumi di Indonesia, pemanfaatan energi alternatif
nonfosil harus ditingkatkan. Diproyeksinya, dalam 10 tahun mendatang 10-20
persen pasokan listrik berasal dari energi terbarukan. Konsul Ilmu Pengetahuan
dan Kebudayaan Italia untuk Indonesia Michele Mile menegaskan, pemanfaatan
energi merupakan keharusan bagi semua negara karena berkaitan dengan Protokol
Kyoto. Dalam Protokol itu disepakati untuk mereduksi kerusakan lingkungan,
terutama pencemaran udara, akibat penggunaan bahan bakar fosil. Menurut Mile,
Italia yang telah mengembangkan energi terbarukan sejak lebih dari 40 tahun
lalu akan meningkatkan pemanfaatan sumber energi alternatif untuk kelistrikan.
Diharapkan bisa dua kali lipat dalam 10 tahun, atau sekitar 7-10 persen saat
ini. Teknologi kelistrikan yang
dikembangkan di Italia selama ini difokuskan pada empat jenis energi
terbarukan, yaitu geotermal, tenaga surya fotovoltaik, energi angin, dan
biomassa. Dari keempat jenis ini, yang berprospek baik untuk dikembangkan lebih
lanjut adalah tenaga surya fotovoltaik. Namun, untuk dapat memasok energi
listrik lebih besar perlu sistem integrasi kelistrikan.
Menurut Rahmat,
penerapan pembangkit listrik dengan energi terbarukan akan dikembangkan di
daerah terpencil, terutama di pegunungan dan di pulau-pulau kecil yang tidak
terjangkau jaringan listrik PLN. Saat ini 30 persen daerah terpencil belum
terjangkau listrik PLN. Pelaksanaan program kelistrikan diutamakan di kawasan
timur Indonesia. Energi terbarukan yang akan dimanfaatkan adalah energi surya,
angin, dan mikro hidro. Diperkenalkan pula teknologi hibrida, yang merupakan
penggabungan energi terbarukan dengan solar.
5. Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM)
Pesatnya
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, menciptakan struktur baru, yaitu
struktur global. Struktur tersebut akan mengakibatkan semua bangsa di dunia
termasuk Indonesia, mau tidak mau akan terlibat dalam suatu tatanan global yang
seragam, pola hubungan dan pergaulan yang seragam khususnya dibidang ilmu
pengetahuan dan teknologi. Aspek Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yang
semakin pesat terutama teknologi komunikasi dan transportasi, menyebabkan
issu-issu global tersebut menjadi semakin cepat menyebar dan menerpa pada
berbagai tatanan, baik tatanan politik, ekonomi, sosial budaya maupun
pertahanan keamanan. Dengan kata lain globalisasi yang ditunjang dengan pesat
ilmu pengetahuan dan teknologi telah menjadikan dunia menjadi transparan tanpa
mengenal batas-batas negara. Dengan perkembangan teknologi yang begitu pesat,
masyarakat dunia khususnya masyarakat Indonesia terus berubah sejalan dengan
perkembangan teknologi, dari masyarakat pertanian ke masyarakat industri dan
berlanjut ke masyarakat pasca industri yang serba teknologis. Pencapaian tujuan
dalam bidang politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan cenderung
akan semakin ditentukan oleh penguasaan teknologi dan informasi, walaupun
kualitas sumber daya manusia (SDM) masih tetap yang utama.
Sumberdaya
manusia (SDM) merupakan salah satu faktor kunci dalam persaingan global, yakni
bagaimana menciptakan SDM yang berkualitas dan memiliki keterampilan serta
berdaya saing tinggi dalam persaingan global yang selama ini kita abaikan. Globalisasi
yang sudah pasti dihadapi oleh bangsa Indonesia menuntut adanya efisiensi dan
daya saing dalam dunia usaha. Dalam globalisasi yang menyangkut hubungan
intraregional dan internasional akan terjadi persaingan antarnegara. Indonesia
dalam kancah persaingan global menurut World Competitiveness Report menempati
urutan ke-45 atau terendah dari seluruh negara yang diteliti, di bawah
Singapura (8), Malaysia (34), Cina (35), Filipina (38), dan Thailand (40).
Terkait dengan
kondisi sumber daya manusia Indonesia yaitu adanya ketimpangan antara jumlah
kesempatan kerja dan angkatan kerja. Jumlah angkatan kerja nasional pada krisis
ekonomi tahun pertama (1998) sekitar 92,73 juta orang, sementara jumlah
kesempatan kerja yang ada hanya sekitar 87,67 juta orang dan ada sekitar 5,06
juta orang penganggur terbuka (open unemployment). Angka ini meningkat terus
selama krisis ekonomi yang kini berjumlah sekitar 8 juta.
Kedua, tingkat
pendidikan angkatan kerja yang ada masih relatif rendah. Struktur pendidikan
angkatan kerja Indonesia masih didominasi pendidikan dasar yaitu sekitar 63,2
%. Kedua masalah tersebut menunjukkan bahwa ada kelangkaan kesempatan kerja dan
rendahnya kualitas angkatan kerja secara nasional di berbagai sektor ekonomi.
Lesunya dunia usaha akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan sampai saat ini
mengakibatkan rendahnya kesempatan kerja terutama bagi lulusan perguruan
tinggi. Sementara di sisi lain jumlah angkatan kerja lulusan perguruan tinggi
terus meningkat. Sampai dengan tahun 2000 ada sekitar 2,3 juta angkatan kerja
lulusan perguruan tinggi. Kesempatan kerja yang terbatas bagi lulusan perguruan
tinggi ini menimbulkan dampak semakin banyak angka pengangguran sarjana di
Indonesia.
Menurut catatan
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Depdiknas angka
pengangguran sarjana di Indonesia lebih dari 300.000 orang. Masalah SDM inilah
yang menyebabkan proses pembangunan yang berjalan selama ini kurang didukung
oleh produktivitas tenaga kerja yang memadai. Itu sebabnya keberhasilan
pembangunan yang selama 32 tahun dibanggakan dengan tingkat pertumbuhan
rata-rata 7%, hanya berasal dari pemanfaatan sumberdaya alam intensif (hutan,
dan hasil tambang), arus modal asing berupa pinjaman dan investasi langsung.
Dengan demikian, bukan berasal dari kemampuan manajerial dan produktivitas SDM
yang tinggi. Keterpurukan ekonomi nasional yang berkepanjangan hingga kini
merupakan bukti kegagalan pembangunan akibat dari rendahnya kualitas SDM.
Rendahnya SDM
Indonesia diakibatkan kurangnya penguasaan IPTEK, karena sikap mental dan
penguasaan IPTEK yang dapat menjadi subyek atau pelaku pembangunan yang handal.
Dalam kerangka globalisasi, penyiapan pendidikan perlu juga disinergikan dengan
tuntutan kompetisi. Oleh karena itu dimensi daya saing dalam SDM semakin menjadi
faktor penting sehingga upaya memacu kualitas SDM melalui pendidikan merupakan
tuntutan yang harus dikedepankan.
Salah satu
problem struktural yang dihadapi dalam dunia pendidikan adalah bahwa pendidikan
merupakan subordinasi dari pembangunan ekonomi. Pada era sebelum reformasi
pembangunan dengan pendekatan fisik begitu dominan. Hal ini sejalan dengan
kuatnya orientasi pertumbuhan ekonomi.
Pengaruh IPTEK
terhadap peningkatan SDM Indonesia khususnya dalam persaingan global dewasa ini
meliputi berbagai aspek dan merubah segenap tatanan masyarakat. Aspek-aspek
yang dipengaruhi, adalah sebagai berikut :
a.
Dampak
yang ditimbulkan oleh teknologi dalam era globalisasi, khususnya teknologi
informasi dan komunikasi, sangat luas. Teknologi ini dapat menghilangkan batas
geografis pada tingkat negara maupun dunia.
b.
Aspek
Ekonomi, dengan adanya IPTEK, maka SDM Indonesia akan semakin meningkat dengan
pengetahuan-pengetahuan dari teknologi tersebut. Dengan kemajuan SDM ini,
tentunya secara tidak langsung akan mempengaruhi peningkatan ekonomi di
Indonesia. Berkaitan dengan pasar global dwasa ini, tidaklah mungkin jika suatu
negara dengan tingkat SDM rendah dapat bersaing, untuk itulah penguasaan IPTEK
sangat penting sekali untuk dikuasai. Selain itu, tidak dipungkiri globalisasi
telah menimbulkan pergeseran nilai dalam kehidupan masyarakat di masa kini
akibat pengaruh negatif dari globalisasi.
c.
Aspek
Sosial Budaya, globalisasi juga menyentuh pada hal-hal yang mendasar pada
kehidupan manusia, antara lain adalah masalah Hak Asasi Manusia (HAM),
melestarikan lingkungan hidup serta berbagai hal yang menjanjikan kemudahan
hidup yang lebih nyaman, efisien dan security pribadi yang menjangkau masa
depan, karena didukung oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dampak
yang timbul diakibatkannya ikatan-ikatan tradisional yang kaku, atau dianggap
tidak atau kurang logis dan membosankan. Akibat nyata yang timbul adalah
timbulnya fenomena-fenomena paradoksal yang muaranya cenderung dapat menggeser
paham kebangsaan/nasionalisme. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan
meningkatnya tanggapan masyarakat atas kasus-kasus yang terjadi dinilai dengan
didasarkan norma-norma kemanusiaan atau norma-norma sosial yang berlaku secara
umum (Universal internasional).
Dari uraian
diatas mengenai IPTEK dalam upaya peningkatan SDM Indonesia di era globalisasi
ini, sudah jelas bahwa dengan adanya IPTEK sudah barang tentu menunjang sekali
dalam kaitannya meningkatkan kualitas SDM kita. Dengan meningkatnya kualitas
SDM, maka Indonesia akan lebih siap menghadapi era globalisasi dewasa ini.
Perlu sekali
diperhatikan, bahwasannya dengan adanya IPTEK dalam era globalisasi ini, tidak
dipungkiri juga akan menimbulkan dampak yang negatif dari berbagai aspek, baik
aspek ekonomi, budaya maupun imformasi dan komunikasi, untuk itulah filtrasi
sangat diperlukan sekali dalam penyerapan IPTEK, sehingga dampak negatif IPTEK
dalam upaya peningkatan SDM dapat ditekan seminimal mungkin.